Minggu, 26 Maret 2023

TARAWIH CEPAT

Pandangan Kitab Bughyah Al-Mustarsyidin dan Kitab An-Nashoih Ad-Diniyah mengenai sholat tarowih cepat

 بغية المسترشدين ص ٧٩
وأما التخفيق المفرط في صلاة التراويح فمن البدع الفاشية لجهل الأئمة وتكاسلهم. ومقتضى عبارة التحفة أن الانفراد في هذه الحالة أفضل من الجماعة. إن علم المأموم أو ظن أن الإمام لايتم بعض الأركان لم يصح الاقتداء به أصلا. اهـ

Mempercepat shalat Tarawih sampai keterlaluan itu termasuk salah satu tindakan bid’ah yang sudah tersebar di mana-mana.
Hal itu terjadi karena faktor bodohnya para imam shalat dan wujud kemalasan mereka dalam beribadah. Isi ta’bir kitab Tuhfah:

Bahwa melaksanakan shalat Tarawih sendirian dengan sikap khusyu’ dan tuma’ninah itu lebih afdlol dari pada berjamaah/ mengikuti seorang imam yang shalatnya serba cepat.
Apabila makmum yakin atau menduga bahwa sang imam tidak menyempurnakan sebagian rukun shalat, maka jamaahnya sama sekali tidak sah.

إعانة الطالبين ج١ ص ٢٦٥
قاَلَ قُطْبُ اْلإِرْشَادِ سَيِّدُنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَلْوِي اْلحَدَّادُ فيِ النَّصَائِحِ وَلْيَحْذَرْ مِنَ التَّخْفِيْفِ اْلمُفْرِطِ الَّذِيْ يَعْتَادُهُ كَثِيرٌ مِنَ اْلجَهَلَةِ فيِ صَلاَِتهِمْ لِلتَّرَاوِيْحِ حَتىَّ رُبمَّاَ يَقَعُوْنَ بِسَبَبِهِ فيِ اْلإِخْلاَلِ بِشَيْءٍ مِنَ اْلوَاجِبَاتِ مِثْلِ تَرْكِ الطُّمَأْنِيْنَةِ فيِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ وَتَرْكِ قِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ عَلىَ الْْوَجْهِ الًّذِيْ لاَ بُدَّ مِنْهُ بِسَبَبِ اْلعَجَلَةِ فَيَصِيْرُ أَحَدُهُمْ عِنْدَ اللهِ لاَ هُوَ صَلَّى فَفَازَ بِالثَّوَابِ وَلاَ هُوَ تَرَكَ فَاعْتَرَفَ بِالتَّقْصِيرْ ِوَسَلَّمَ مِنَ اْلإِعْجَابِ وَهَذِهِ وَمَا أَشْبَهَهَا مِنْ أَعْظَمِ مَكَايِدِ الشَّيْطَانِ ِلأَهْلِ اْلإِيمْاَنِ

Quthbu al-Irsyad sayyidina Abdullah bin Alwi mengatakan di dalam kitab al-Nashaa’ih:

Hindarilah pelaksanaan shalat dengan terlalu cepat seperti yang biasa dilakukan kebanyakan Juhalah dalam melakukan shalat tarawih, yang karena sangat cepatnya mungkin mereka melewatkan sebagian rukun, seperti tanpa thuma’ninah di dalam ruku’ dan sujud, atau membaca surat al-Fatihah tidak dengan sebenarnya karena tergesah-gesa, sehingga shalat salah seorang di antara mereka tidak dinilai oleh Allah سبحانه وتعالی
sebagai shalat yang berpahala, tetapi mereka tidak dianggap meninggalkan shalat. Orang tersebut salam (menutup shalat) dengan bangga (karena bisa melaksanakannya secara cepat). 

KETENTUAN SHOLAT TARAWIH CEPAT MENURUT FIQIH

Shalat tarawih sering kali ditunaikan dengan cepat dan terburu-buru karena mengejar jumlah rakaat tertentu. 

Sebagaimana diketahui, salah satu rukun shalat adalah membaca Surah Al-Fatihah dengan sedikitnya 10 persyaratan seperti yang disebutkan Syekh Zainuddin Al-Malaibari. Berikut ini 10 syarat membaca Surat Al-Fatihah, yaitu (1) membaca semua ayatnya; (2) dibaca sewaktu berdiri; (3) membaca al-Fatihah dengan niat membacanya; (4) membaca Al-Fatihah setidaknya terdengar diri sendiri; (5) membacanya dalam bahasa Arab, tidak boleh diganti bahasa lain; (6) menjaga semua tasydidnya; (7) menjaga huruf-hurufnya; (8) tidak ada cacat bacaan yang merusak makna; (9) muwalah atau tak terlalu lama menghentikan bacaan; (10) tertib sesuai urutan ayat dalam mushaf. (Lihat Fathul Mu‘in, halaman 99). 

Setelah itu, ia melanjutkannya dengan pembacaan surat atau ayat Al-Qur’an yang lain. Sebagaimana berlaku umum, pembacaan Al-Qur’an harus tartil, baik di dalam maupun di luar shalat, berdasarkan ayat, “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan,” (Surat Al-Muzammil ayat 4). 

Dalam kaitannya dengan tartil, Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu menjelaskan, yang dimaksud tartil adalah tajwidul huruf wa ma‘rifatul wuquf. Artinya, membaguskan huruf dan mengetahui tempat-tempat berhentinya bacaan (waqaf). Kemudian, kriteria membaguskan huruf sekurang-kurangnya terpenuhi dengan mengeluarkan huruf dari makhraj-nya (seperti al-jauf, tharful lisan, dan halq), dan memenuhi sifat-sifatnya, baik sifat lazimah (seperti jahr, hams, ithbaq, istifal, dan isti‘la) maupun sifat ‘aridhah (seperti idgham, izhar, ikhfa, imalah). (Lihat An-Nasyr fil Qira’atil-‘Asyr, halaman 209). 

Jika melihat tartil sesuai dengan definisi Sayyidina ‘Ali di atas, sudah barang tentu bacaan Al-Qur’an tidak bisa dilakukan dengan cepat-cepat. Ini pula yang disyaratkan oleh Imam As-Syafi‘i yang mempersyaratkan sekurang-kurangnya bacaan tartil dengan tarkul ‘ajalah fil qur’an atau “tidak terburu-buru dalam bacaan supaya jelas.” Tak heran bila ulama lain sampai mensyaratkan bacaan tartil dengan bacaan huruf demi huruf. (Lihat Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jilid II, halaman 76). 

Dalam Syarhul Muhadzdzab, An-Nawawi menegaskan, para ulama sepakat memakruhkan membaca Al-Qur’an dengan cepat. Dijelaskan para ulama, status makruh ini tentu bacaannya masih benar, tidak keluar dari ketentuan tajwid, dan tidak merusak makna, hanya saja dilakukan agak cepat. Adapun bacaan cepat yang sudah keluar dari ketentuan tajwid, banyak bacaan yang cacat dan sampai merusak makna, boleh jadi bukan makruh lagi, melainkan sudah berdosa sebagai pernyataan para ulama tajwid:

 مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرَآنَ آثِمُ 

 Artinya, “Siapa saja yang tidak men-tajwid Al-Quran, maka ia berdosa.” 

Mengapa para ulama memakruhkan bacaan yang cepat? Kecepatan bacaan dapat mengabaikan aspek tadabbur atau perenungan terhadap kandungan ayat. Padahal, tadabbur lebih mampu mendekatkan pembaca pada ketenangan dan pengagungan kepada Zat pemilik kalam, serta lebih menyentuh hati. Tak heran, Ibnu ‘Abbas menyebutkan, pembacaan Al-Qur’an satu surat dengan tartil lebih kusukai dibanding membaca seluruh Al-Qur’an tanpa tartil (dengan cepat). Selanjutnya, kaitan dengan thuma’ninah, jumhur ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali sepakat mewajibkannya, terutama dalam rukuk dan sujud. Hukum thuma’ninah sendiri adalah fardhu seperti kewajiban rukuk dan sujud. Sebagian ulama Syafi‘i menjadikan thuma’nihah sebagai rukun shalat tersendiri. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, kecuali Syekh Abu Yusuf, hukum thuma’ninah adalah sunnah. Ini artinya, dalam pandangan mazhab Hanafi, shalat tetap sah walau tanpa thuma’ninah. (Lihat Ikhtilafu A’immatil ‘Ulama, jilid I, halaman 114). 

Thuma’ninah sendiri berarti tenang dan diam seluruh anggota tubuh sekurang-kurangnya selama satu kali bacaan tasbih. Adapun yang menjadil dalil wajibnya thuma’ninah menurut mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Al-Bukhari (nomor 6251) dari Abu Hurairah RA:

 إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا 

Artinya, “Jika engkau menunaikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat dan mengucap takbir. Lalu bacalah ayat Al-Qur’an yang menurutmu mudah (Al-Fatihah dan surat). Lalu rukuklah hingga rukuk dengan thuma’ninah. Lantas angkatlah kepala hingga berdiri dengan tegak. Lalu sujudlah hingga sujud dengan thuma’ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma’ninah. Lalu sujud kembali hingga sujud dengan thuma’ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma’ninah. Kemudian, lakukanlah semua itu dalam seluruh shalatmu,” (HR Bukhari). 

Ditambah, pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lain kepada Bilal ibn Rabah, “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!” (HR. Ahmad). 

 Adapun alasan ulama Hanafi menghukumi thuma’ninah sebagai sunnah, termasuk tuhma’ninah dalam sujud dan rukuk sebagaimana dalam Al-Mausu‘atul Fiqhiyyah sebagai berikut ini:

 وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ الطُّمَأْنِينَةَ فِي الرُّكُوعِ لَيْسَتْ فَرْضًا، وَأَنَّ الصَّلاَةَ تَصِحُّ بِدُونِهَا؛ لأِنَّ الْمَفْرُوضَ مِنَ الرُّكُوعِ أَصْل الاِنْحِنَاءِ وَالْمَيْل، فَإِذَا أَتَى بِأَصْل الاِنْحِنَاءِ فَقَدِ امْتَثَل، لإِتْيَانِهِ بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ الْوَارِدُ فِي قَوْله تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ}. الآْيَةَ. أَمَّا الطُّمَأْنِينَةُ فَدَوَامٌ عَلَى أَصْل الْفِعْل، وَالأْمْرُ بِالْفِعْل لاَ يَقْتَضِي الدَّوَامَ. 
 
Artinya, “Para ulama Hanafi berpendapat bahwa thuma’ninah dalam rukuk bukan fardhu. Sehingga shalat tanpa thuma’ninah adalah sah. Sebab, yang diwajibkan dari rukuk adalah membungkuk dan condong. Bila seseorang sudah membungkuk, sejatinya sudah menunaikan rukuk sesuai dengan istilah rukuk yang disebutkan dalam firman Allah, ‘Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu,’ (Surat Al-Hajj ayat 77). 

Thuma’ninah itu langgeng pada asal perbuatan. Sedangkan perintah melakukan sesuatu tidak menuntut untuk langgeng. (Lihat Al-Mausu‘atul Fiqhiyyah, jilid XXIII, halaman 128). 

Bila memperhatikan uraian singkat tentang maksud serta kedudukan tartil bacaan dan thuma’ninah di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa tarawih yang dilakukan dengan cepat pada dasarnya tidak masalah selama memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, bacaan Al-Quran, terutama yang rukun, meski dilakukan imam agak cepat—jika berjamaah—tetap harus memperhatikan ketentuan atau kaidah tajwid. Sebab, dalam kondisi tertentu, imam bertanggung jawab atas bacaan makmum yang kurang. Kedua, ketika makmum khawatir tidak sempat menyelesaikan bacaan Surah Al-Fatihah setelah imam membacanya, maka makmum bisa mengawali bacaan Al-Fatihah sesaat setelah imam memulai. Di samping itu, cara ini bisa membuatnya lebih leluasa dan lebih mampu menjaga bacaan sesuai tajwid. Di pengujung bacaan Al-Fatihah imam, makmum menyelinginya dengan bacaan ‘āmīn’, lalu melanjutkan sisa bacaannya. Ketiga, supaya keluar dari perdebatan, upayakan menyempatkan diri untuk thuma’ninah dalam setiap rukun qashir (singkat), terutama rukuk dan sujud, sekurang-kurangnya selama membaca satu tasbih (subhanallah) dan semua anggota tubuh dalam keadaan diam. Kendati tidak bisa thuma’ninah, maka ber-taqlid-lah kepada Imam Hanafi yang memandangnya sebagai sunnah. Keempat, jika masih memungkinkan untuk mengambil jumlah rakaat tarawih yang banyak, seperti yang 20 rakaat, dengan tetap memelihara bacaan dan thuma’ninah, maka lakukanlah. Jika tidak, maka ambillah jumlah rakaat yang lebih sedikit, seperti yang 8 rakaat, agar lebih mampu menjaga bacaan, thuma’ninah, ketenangan, dan kekhusyuan shalat. Pendapat Imam An-Nawawi bisa jadi pertimbangan, “Membaca Al-Qur’an satu juz dengan tartil adalah lebih utama ketimbang dua juz tanpa tartil.” Demikian pula pendapat Ibnu ‘Abbas, “Membaca satu surat Al-Qur’an dengan tartil, lebih kusukai daripada membaca seluruh Al-Qur’an tanpa tartil.” Prinsipnya, walau kuantitas amalnya sedikit, tetapi kualitasnya tetap terjaga. Kelima, sebagaimana namanya, shalat tarawih artinya shalat yang tenang. Maka raihlah ketenangan dalam shalat, sebagaimana pesan Nabi SAW pada Bilal bin Rabah. Yang tak kalah penting, intisari dari shalat adalah kekhusyukan dan taqarrub kepada Allah. Namun, kekhusyuan shalat sepertinya akan sulit diraih bilamana dilakukan terburu-buru. Al-Ghazali pernah berkata, orang yang shalat tanpa khusyuk dan kehadiran hati, bagaikan mempersembahkan hewan besar kepada sang raja namun hewan itu sudah jadi bangkai

BATAS MAKAN SAHUR

DARI PEMAHAMAN YANG SALAH, AKHIRNYA SALAH PAHAM

Sebagian orang berdalil dengan hadits pada gambar untuk melanjutkan makan dan minum saat sahur meskipun adzan subuh telah berkumandang

Padahal adzan pada hadits tersebut adalah adzan pertama yang dikumandangkan bilal, bukan adzan subuh yang dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum. Hal ini di jelaskan oleh riwayat lain.

BERIKUT PENJELASANNYA.

IMAM AL-BAIHAQI Rahimahullah menjelaskan :

خبرا عن النداء الأول ليكون موافقا لما :.. عن عبد الله بن مسعود، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا يمنعن أحدا منكم أذانبلال من سحوره فإنما ينادي ليوقظ نائمكم ويرجع قائمكم.

Hadits ini tentang adzan pertama sehingga sesuai dengan apa yang diriwayatkan berikut :.. Dari 'Abdullah Ibnu Mas'ud dari RASULULLAH Shallallaahu 'Alaiihi Wa Sallam beliau bersabda : Adzan Bilal tidaklah menghalangi salah satu dari kalian untuk memakan sahurnya, karena dia hanya menyeru untuk membangunkan yang tidur dari kalian dan mengingatkan yang shalat malam diantara kalian. [As-Sunan Al-Kubra : Jilid 4, Halaman 369]

Diantara riwayat lain yang menjelaskan hal tersebut

Dari 'AISYAH Radhiallahu 'Anha dia berkata :

أن بلالا كان يؤذن بليل، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم، فإنه لا يؤذن حتى يطلع الفجر.

Sesungguhnya Bilal biasa melakukan adzan di malam hari, maka RASULULLAH Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda : Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum melakukan adzan, sebab dia tidak melakukan adzan kecuali sudah terbit fajar. [HR. Bukhari : No. 1819]

Dari ABDULLAH BIN UMAR Radhiallahu 'Anhu dia berkata :

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن بلالا يؤذن بليل، فكلوا واشربوا حتى تسمعوا أذان ابن أم مكتوم

Aku pernah mendengar RASULULLAH Sahallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian hingga kalian mendengar adzan (subuh) Ibnu Ummi Maktum. [HR. Muslim : No. 1092].

Jadi kalo udah terdengar adzan subuh, Stop 🤚

IMAM NAWAWI Rahimahullah mengatakan :

ذكرنا أن من طلع الفجر وفى فيه طعام فليلفظه ويتم صومه، فإن ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه، وهذا لا خلاف فيه.. ويكون قول النبي صلى الله عليه وسلم : "إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده"، خبرا عن النداء الأول ليكون موافقا لحديث ابن عمر وعائشة رضي الله عنهم. 

Telah kami sebutkan bahwa siapapun saat datang fajar sedang dimulutnya ada makanan maka wajib dikeluarkan dan tetap sah puasanya, tapi jika tetap menelannya padahal dia tau sudah waktu fajar maka batal puasanya, dan tak ada khilaf tentang hal ini.. Sedangkan Sabda NABI Shallallahu 'Alahaihi Wa Sallam : Jika salah satu dari kalian mendengar adzan, sedang bejana masih ada di tangannya", maka ini khabar tentang adzan yang pertama sebab telah selaras dengan hadits Ibnu Umar dan 'Aisyah Radhiallahu 'Anhum. [Al-Majmu' : Jilid 7, Halaman: 378]



Sabtu, 25 Maret 2023

KHATAM QUR'AN BEBERAPA ULAMA SELAMA RAMADAN


JUMLAH KHATMAN AL-QUR'AN BEBERAPA ULAMA SALAF KETIKA BULAN RAMADHAN

Bagi yang memiliki pemahaman bahwa menghususkan amal sholeh di waktu-waktu tertentu, dengan jumlah/hitungan tertentu adalah terlarang, mohon jangan baca ini.

IMAM IBNU SA'AD Rahimahullah mengatakan :

عن ابراهيم قال : كان الأسود يختم القرآن في رمضان في كل ليلتين

Dari Ibrahim dia berkata : Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan disetiap 2 malam sekali.
[At-Thabaqat Al-Kubra : Jilid 6, Halaman 136-137]

IMAM ADZ-DZAHABI Rahimahullah mengatakan :

قال سلام بن أبي مطيع : وكان قتادة يختم القرآن في سبع، فإذا جاء رمضان ختم في كل ثلاث، فإذا جاء العشر ختم في كل ليلة.

Salam Bin Abu Muthi' berkata : Qatadah biasa mengkhatamkan Al-Qur'an dalam 7 hari, apabila tiba Ramadhan beliau khatam dalam 3 hari, dan jika masuk 10 hari terakhir beliau khatam disetiap malam.
[Siyar A'lam An-Nubala' : Jilid 5, Halaman 174]

IMAM IBNU ABI SYAIBAH Rahimahullah mengatakan :

حدثنا عبيدة بن حميد عن منصور عن مجاهد قال : كان علي الأزدي يختم القرآن في رمضان في كل ليلة

Telah menceritakan pada kami Ubaidah Bin Humaid dari Manshur dari Mujahid dia berkata : Beliau Ali Al-Azdi biasa mengkhatamkan Al-Qur'an dibulan Ramadhan disetiap malam.
[Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah : Jilid 3, Halaman 579, No. 8675]

IMAM SUFYAN BIN UYAINAH Rahimahullah mengatakan :

كان أبو حنيفة رضي الله عنه يختم القرآن في كل شهر رمضان ستین ختمة، ختمة بالليل وختمة بالنهار.

Imam Abu Hanifah Radhiallahu 'Anhu biasa mengkhatamkan Al-Qur'an pada setiap bulan Ramadhan sebanyak 60 khataman, khatam di saat malam dan khatam di waktu siang.
[Al-Mausu'ah Al-Haditsiyah Limarwiyat Al-Imam Abu Hanifah : Jilid 2, Halaman 208]

IMAM IBNU RAJAB Rahimahullah mengatakan :

قال ابن عبد الحكم : كان مالك إذا دخل رمضان يفر من قراءة الحديث ومجالسة أهل العلم وأقبل على تلاوة القرآن من المصحف

Ibnu Abdil Hakam berkata : Imam malik jika memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan majelis bacaan hadits serta majelis ahli ilmu, dan fokus untuk membaca Al-Qur'an dari mushaf.
[Latha'iful Ma'arif : Halaman 318]

IMAM AL-BAIHAQI Rahimahullah mengatakan :

الربيع بن سليمان يقول : سمعت الحميدى يقول : كان الشافى يختم في كل شهر رمضان ستين ختمة

Ar-Rabi' Bin Sulaiman berkata : Aku mendengar Al-Humaidi mengatakan : Imam Asy-Syafi'i biasa menghatamkan Al-Qur'an dibulan Ramadhan sebanyak 60 kali khataman.
[Manaqib Asy-Syafi'i : Jilid 2, Halaman 159]

IMAM IBNUL JAUZI Rahimahullah mengatakan :

ثنا جعفر بن أبي هاشم قال : سمعت أحمد بن حنبل يقول : ختمت القرآن في يوم.

Telah bercerita pada kami Ja'far Bin Abi Hasyim : Aku mendengar Ahmad Bin Hanbal berkata : Aku mengkhatamkan Al-Qur'an sekali dalam sehari.
[Manaqib Ahmad Bin Hanbal : Halaman 259]

IMAM IBNU HAJAR AL-ASQALANI Rahimahullah mengatakan :

وقال الحاكم أبو عبد الله الحافظ : أخبرني محمد بن خالد، حدثنا مقسم ابن سعد، قال : كان محمد بن إسماعيل البخاري إذا كان أول ليلة من شهر رمضان، يجتمع إليه أصحابه فيصلى بهم ويقرأ في كل ركعة عشرين آية وكذلك إلى أن يختم القرآن، وكان يقرأ في السحر ما بين النصف إلى الثلث من القرآن فيختم عند السحر في كل ثلاث ليال، وكان يختم بالنهار في كل يوم ختمة، ويكون ختمه عند الافطار كل ليلة، ويقول : "عند كل ختمة دعوة مستجابة".

Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafidz mengatakan : Telah mengabarkan kepadaku Muhammad Bin Khalid, telah bercerita pada kami Muqsim Ibnu Sa'ad, dia berkata : Kebiasaan Muhammad Bin Isma'il Al-Bukhari jika tiba dimalam pertama dari bulan Ramadhan maka beliau mengumpulkan para sahabatnya lalu shalat bersama mereka dan beliau membacakan dua puluh ayat disetiap rakaat dan seterusnya sampai beliau mengkhatamkan Al-Qur'an, beliau pun membaca di waktu sahur antara separuh sampai sepertiga dari Al-Qur'an hingga khatam saat sahur setiap tiga malam, beliau juga terbiasa khatam sekali disetiap harinya pada waktu siang dan ketika khatam di waktu berbuka puasa disetiap malamnya, beliau pernah berkata : "Pada setiap Khatam Al-Qur'an terdapat doa yang Mustajab" 
[Fathul Bari : Jilid 1, Halaman 455]

DOA BERBUKA PUASA

DOA BERBUKA PUASA YANG SHAHIH, SHAHIH MENURUT SIAPA?

Berikut hadits dalam gambar yang dikatakan shahih dan layak untuk dijadikan doa berbuka puasa.

IMAM ABU DAUD Rahimahullah mengatakan :

٢٣٥٧ - حدثنا عبد الله بن محمد بن يحيى [أبو محمد]، حدثنا على بن الحسن، أخبرني الحسين بن واقد، حدثنا مروان يعني ابن سالم المقفع قال : رأيت ابن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكف، وقال : كان النبي صلى الله عليه وسلم اذا أفطر قال : "ذهب الظمأ، وابتلت العروق، وثبت الأجر إن شاء الله".

2357 - Telah bercerita pada kami Abdullah Bin Muhammad Bin Yahya [Abu Muhammad], yaitu Abu Muhammad, telah bercerita pada kami 'Ali Bin Al-Hasan, telah mengabarkan ke kami dari Al-Husain Bin Waqid, telah bercerita pada kami Marwan yaitu Ibnu Salim Al-Muqaffa', Dia berkata : Bahwa aku melihat Ibnu Umar menggenggam jenggotnya, lalu memangkas apa yang tersisa dibawah genggamanya, dan Dia berkata : NABI Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam jika berbuka puasa maka beliau berucap : "Dzahabazh Zhoma'u Wabbtallatil 'Uruqu Wa Tsabatal Ajru Insya ALLAH".
[HR. Abu Daud : No. 2357]

HADITS DI ATAS DALAM SANADNYA TERDAPAT SEORANG RAWI YANG BERNAMA AL-HUSAIN BIN WAQID, BERIKUT KETERANGANYA.

IMAM IBNU ABI HATIM Rahimahullah mengatakan :

علي بن الحسين بن واقد المروزى، ثنا عبد الرحمن قال : سألت أبي عنه، فقال : ضعيف الحديث

'Ali Bin Al-Husain Bin Waqid Al-Marwazi, telah bercerita pada kami Abdurrahman dia berkata : Kutanyakan ke ayahku tentang dia, beliau menjawab : Hadits darinya Lemah.

[Al-Jarh Wa At-Ta'dil : Jilid 6, Halaman 140, No. 978]

IMAM ADZ-DZAHABI Rahimahullah mengatakan :

علي بن الحسين بن واقد، قال أبو حاتم : ضعيف الحديث، وقال النسائي : ليس به بأس، وقال البخاري : ليس به بأس.

'Ali Bin Al-Husain Bin Waqid, Abu Hatim berkata : Hadits darinya Lemah., An-Nasa'i berkata : Tidak ada apa-apanya, Al-Bukhari berkata : Tidak ada apa-apanya.
[Tarikhul Islam : Jilid 15, Halaman  310, No. 280]

IMAM AL-MARWADZI Rahimahullah mengatakan :

حدثنا الميموني، قال : قال أبو عبدالله : حسين بن وقد له أشياء مناكير

Telah bercerita pada kami Al-Maimuni, dia berkata : Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata : Husain Bin Waqid memiliki hal-hal yang Munkar.
[Al-Ilal Wa Ma'rifatir Rijal : Halaman 228, No. 444]

KESIMPULAN.

IMAM YUSUF AL-MIZZI Rahimahullah mengatakan :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا أفطر قال : "ذهب الظمأ، وابتلت العروق، وثبت الأجر إن شاء الله". قال الحافظ أبو عبد الله : هذا حديث غريب، لم نكتبه إلا من حديث الحسين بن واقد.

[Hadits] Bahwa RASULULLAH Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam jika berbuka puasa maka beliau berucap : "Dzahabazh Zhoma'u Wabbtallatil 'Uruqu Wa Tsabatal Ajru Insya ALLAH". Maka dikatakan oleh Al-Hafidz Abu Abdillah : Ini adalah hadits Gharib, kami tidak menulisnya kecuali hanya melalui jalur hadits Al-Husain Bin Waqid.
[Tahdzibul Kamal Fii Asma' Ar-Rijal : Jilid 27, Halaman 391, No. 5872]

Jadi hadits ini Gharib/Aneh dan tak ada jalur lain kecuali melalui Al-Husain Bin Waqid yang sekaligus dianggap lemah oleh Tiga Ulama Salaf Ahli Hadits yakni Imam Al-Bukhari, Imam Ahmad Bin Hanbal dan Imam Abu Hatim Rahimahumullah.

Disamping itu, hadits ini juga dilemahkan oleh salah satu Ulama Salafy berikut ini.

SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL-WADI'I Rahimahullah mengatakan :

فمن أهل العلم من يقول : ثبت حديث : "ذهب الظمأ، وابتلت العروق، وثبت الأجر إن شاء الله"، والذي يظهر أنه لا يثبت حديث في الدعاء، أي : في دعاء بخصوصه،.

Diantara ulama ada yang berpendapat : telah tetap sebuah hadits : "Dzahabazh Zhoma'u Wabbtallatil 'Uruqu Wa Tsabatal Ajru Insya ALLAH", Namun yang jelas bagiku bahwa tak ada yang shahih hadits tentang doa-doa, artinya terkait doa berbuka secara khusus.
[Fadhaa'ih Wan Nashaa'ih : Halaman 74]

SEANDAINYA HADITS INI SHAHIH, MAKA LEBIH SESUAI DIBACA SETELAH BERBUKA PUASA KATA SALAH SATU ULAMA SALAFY BERIKUT INI.

SYAIKH IBNU UTSAIMIN Rahimahullah berkata :

أما بعد الفطر : فإن النفس قد استراحت، وفرحت، وربما يحصل غفلة. لكن ورد ذكر، إن صح عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم : فإنه يكون بعد الإفطار : "ذهب الظمأ، وابتلت العروق، وثبت الأجر إن شاء الله" هذا لا يكون إلا بعد الفطر.

Adapun setelah berbuka puasa, maka jiwa akan merasa santai dan senang, bahkan terkadang menjadi lalai, namun telah sampai doa yang jika shahih dari NABI Shallallahu 'Alaihi Wa Alihi Wa Sallam maka dibacanya setelah berbuka yaitu : "Dzahabazh Zhoma'u Wabbtallatil 'Uruqu Wa Tsabatal Ajru Insya ALLAH", doa ini tidak dibaca kecuali hanya setelah berbuka puasa.
[Al-Liqa' Asy-Syahri : Jilid 8, Halaman 18].

ADAPUN TERKAIT DOA "ALLAHUMMA LAKA SUMTU". MAKA REDAKSI INIPUN BOLEH DIGUNAKAN SEBAGAI DOA BERBUKA PUASA MENURUT SALAH SATU ULAMA SALAFY BERIKUT INI.

FATWA SYAIKH SHALIH AL-UTSAIMIN Rahimahullah :

السؤال : ما هو الدعاء المأثور عن النبي صلى الله عليه وسلم عند الإفطار؟

الجواب : الأدعية الواردة عن النبي صلى الله عليه وسلم في الإفطار لم تكن في الصحيحين ولا في أحدهما، لكنها في السنن، ومنها : "اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت" اللهم لك صمت : وهذا إخلاص، وعلى رزقك أفطرت : وهذا شكر لله عز وجل.

Pertanyaan : Apakah doa yang berasal dari NABI Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saat berbuka puasa.!?

Jawaban : Doa-doa yang berasal dari NABI Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saat berbuka, tak ada dalam Shahihain dan tidak pula pada salah satunya, namun terdapat pada kitab-kitab As-Sunan, diantaranya : "Allahumma Laka Shumtu Wa 'Ala Rizqika Afthartu", Allahumma Laka Shumtu ini menunjukkan ke ikhlasan, Wa 'Ala Rizqika Afthartu adalah bentuk syukur kepada ALLAH 'Azza Wa Jalla.
[Al-Liqa'at Ar-Ramadhaniyyah : Halaman 67].

DITAMBAH LAGI, INI ADALAH DOA BERBUKA PUASA YANG DISUNNAHKAN OLEH PARA ULAMA LINTAS MADZHAB (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali)

1. Madzhab Hanafi

IMAM AZ-ZAILA'I Rahimahullah mengatakan :

ومن السنة أن يقول عند الإفطار : "اللهم لك صمت وبك آمنت وعليك توكلت وعلى رزقك أفطرت".

Diantara Sunnah adalah ketika kau bacakan saat berbuka puasa : "Allahumma Laka Shumtu Wa 'Ala Rizqika Afthartu".
[Tabyin Al-Haqa'iq Syarh Kanzu Al-Haqa'iq : Jilid 1, Halaman 324]

2. Madzhab Maliki

IMAM AN-NAFRAWI Rahimahullah mengatakan :

ويقول ندبا عند الإفطار : "اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فاغفر لي ما قدمت وما أخرت".

Dan disunnahkan berdoa ketika berbuka puasa : "Allahumma Laka Shumtu Wa 'Ala Rizqika Afthartu, Faghfirli Maa Qaddamtu Wamaa Akhartu".
[Al-Fawakih Ad-Dawani : Jilid 1, Halaman 305]

3. Madzhab Syafi'i

IMAM NAWAWI Rahimahullah mengatakan :

والمستحب أن يقول عند إفطاره : "اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت".

Dan disunnahkan untuk membaca doa ketika berbuka puasa : "Allahumma Laka Shumtu Wa 'Ala Rizqika Afthartu".
[Al-Majmu' Syarhul Muhadzhab : Jilid 6, Halaman 362]

4. Madzhab Hanbali

IMAM AL-BUHUTI Rahimahullah mengatakan :

لما روى ابن ماجه من حديث عبد الله بن عمرو للصائم عند فطره دعوة لا ترد، ويسن أن يقول عند الفطر : "اللهم لك صمت، وعلى رزقك أفطرت".

Berdasarkan riwayat Ibnu Majah dari hadits Abdullah Bin 'Amru bahwa orang yang berpuasa itu mempunyai doa yang tidak ditolak saat sedang berbuka, maka disunnahkan membaca saat berbuka puasa : "Allahumma Laka Shumtu Wa 'Ala Rizqika Afthartu".
[Qasyful Qina' 'An Matan Al-Iqna' : Jilid 2, Halaman 284]

Silahkan pake doa manapun termasuk juga dua doa pada gambar ini karna saat berbuka memang waktu yang mustajab untuk berdoa bagi orang yang berpuasa

Disini saya juga ingin menegaskan bahwa doa yang dibaca masyarakat indonesia salama ini adalah doa yang dianggap sunnah oleh jumhur ulama lintas madzhab. Jadi saya mohon buat anda semua jangan coba-coba untuk mengaburkan fakta ini apalagi menyalahkan mereka.

Sumber: https://www.facebook.com/100069445846015/posts/pfbid0tqTZqpAEUzyCR9hiKjLWdDQenDN4fKr4WM3gVGQBVovkSE7ECmt4Jd2duXg9TXqbl/?mibextid=Nif5oz