Rabu, 05 Maret 2025

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah kepada Non-Muslim?


Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang mampu. Peranannya tidak hanya berkaitan dengan ubudiyyah murni, namun juga berfungsi untuk membangun kesejahteraan sesama, karena itu zakat disebut dengan ibadah ghairu mahdlah. Zakat secara garis besar ada dua, zakat mal dan zakat fitrah atau bisa juga disebut zakat badan. Baru-baru ini banyak bermunculan pertanyaan dan diskusi tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fitrah. Di antaranya adalah berkaitan dengan penerima zakat fitrah. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah, bolehkah zakat fitrah diberikan kepada non-Muslim? Dalam hal ini, para ulama mazhab berbeda pendapat. Dalam mazhab Syafi’i, zakat fitrah tidak diperbolehkan diberikan kepada non-Muslim, baik kaya atau miskin, dzimmi (yang berdamai) atau harbi (yang memerangi). Larangan tersebut juga berlaku untuk zakat mal. 

Larangan tersebut berlandaskan dalil hadits Nabi saat mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal:

 صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم 

“Sedekah yang diambil dari orang kaya mereka (Muslimin), kemudian diberikan kepada orang faqir mereka (Muslimin). (HR al-Bukhari dan Muslim) 

Namun, boleh memberikan bagian dari harta zakat kepada non-Muslim yang menjabat sebagai petugas penimbang, humasi atau penjaga harta zakat. Kebolehan tersebut bukan pemberian atas nama zakat, namun atas nama upah dari pekerjaan mereka (dari bagian amil zakat). 

Dalam kitab al-iqna’ dijelaskan:

 و ) الخامس (لا تصح للكافر) لخبر الصحيحين صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم ، نعم الكيال والحمال والحافظ ونحوهم يجوز كونهم كفارا مستأجرين من سهم العامل لأن ذلك أجرة لا زكاة . وإنما جاز في الحمال والكيال ومن ذكر معهما أن يكون كافرا أو هاشميا أو مطلبيا لأن ما يأخذه العامل أجرة لا زكاة ؛ لأن الاستئجار أخرجه عن كونه زكاة حقيقة كما ذكره الشارح 

“Yang kelima, tidak sah zakat kepada non-Muslim karena hadits al-Bukhari dan Muslim ‘Sedekah yang diambil dari orang kaya mereka (Muslimin)’, kemudian diberikan kepada orang faqir mereka (Muslimin). Namun, penakar, pembawa, penjaga dan sesamanya boleh dari seorang non-Muslim yang disewa dari bagian amil, sebab hal tersebut adalah upah, bukan zakat.” (Syekh al-Khathib al-Syarbini, al-Iqna’ Hamisy Hasyiyah al-Bujairami, juz 6, halaman 394) 

Dalam komentarnya atas keterangan di atas, Syekh Sulaiman al-Bujairimi menegaskan:

 وإنما جاز في الحمال والكيال ومن ذكر معهما أن يكون كافرا أو هاشميا أو مطلبيا لأن ما يأخذه العامل أجرة لا زكاة ؛ لأن الاستئجار أخرجه عن كونه زكاة حقيقة كما ذكره الشارح 

 “Dibolehkannya petugas distribusi dan penakar serta yang disebutkan bersama keduanya dari non-Muslim, Bani Hasyim dan Bani Muthallib, sebab harta yang diambil oleh amil adalah upah, bukan zakat, sebab penyewaan jasa mengeluarkan harta tersebut dari zakat secara hakikat, sebagaimana yang disebutkan pensyarah.” (Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Iqna’, juz.6, hal.394). 

 Menurut pandangan Imam Abu Hanifah dan muridnya Muhammad, dibolehkan memberikan zakat fitrah kepada non-Muslim dzimmi yang fakir. 

Landasan mereka adalah ayat:

 إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ 

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu.” (QS al-Baqarah: 271) 

Ayat tersebut tidak membedakan fakir yang Muslim dan non-Muslim, kecuali dalam masalah zakat mal, karena ada larangan khusus dalam haditsnya sahabat Mu’adz, yang kedudukannya men-takhsish ayat ini. Alasan lainnya, memberikan zakat kepada kafir dzimmi yang fakir adalah termasuk mendatangkan kebaikan kepada mereka, dan hal tersebut bukan merupakan larangan dalam syari’at. 

Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan:

 وهل يجوز صرفها إلى أهل الذمة؟ قال أبو حنيفة ومحمد يجوز، لقوله تعالى: (إن تبدوا الصدقات فنعما هي، وإن تخفوها وتؤتوها الفقراء، فهو خير لكم، ويكفر عنكم من سيئاتكم) من غير تفرقة بين فقير وفقير، وعموم هذا النص يقتضي جواز صرف الزكاة إليهم، إلا أنه خص منه الزكاة لحديث معاذ، وقوله تعالى في الكفارات (فكفارته إطعام عشرة مساكين) من غير تفرقة بين مسكين ومسكين، إلا أنه خص منه الحربي بدليل حتى لا يكون ذلك إعانة لهم على قتالنا، ولأن صرف الصدقة إلى أهل الذمة من باب إيصال البر إليهم، وما نهينا عن ذلك 

“Apakah boleh memberikan zakat fitrah, kafarat dan nadzar kepada ahli dzimmah? Abu Hanifah dan Muhammad menyatakan boleh, karena firman Allah, ‘Jika kamu menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu’ (QS. Al-Baqarah: 271). 
Ayat ini tidak membedakan status agama fakir yang menerima zakat, keumuman nash ini menuntut dibolehkannya berzakat kepada non-Muslim, hanya dari dalil tersebut dikecualikan zakat mal karena haditsnya sahabat Mu’adz, dan berdasarkan ayat tentang kafarah, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari (QS al-Maidah: 89). 
Ayat ini tidak membedakan status agama miskin, kecuali kafir harbi yang ada larangan khusus sehingga pemberian zakat tidak menolong mereka untuk memerangi kita. Argumen lain, pemberian zakat fitrah kepada ahli dzimmah tergolong memberikan kebaikan kepada mereka dan kita tidak dicegah untuk hal tersebut.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 3, halaman 310) 

Dalam pandangan mazhab Hanbali ditegaskan, boleh memberi zakat (termasuk zakat fitrah) kepada non-Muslim yang menjadi panutan di kelompoknya ketika terdapat salah satu dari dua alasan. Pertama, diharapkan keislamannya. Kedua, ketika dikhawatirkan aksinya dapat menyerang orang Islam. Pemberian zakat kepada non-Muslim dengan ketentuan di atas diambilkan dari bagian muallaf qulubuhum. 

Syekh Ibnu Quddamah mengatakan:

 المؤلفة قلوبهم قسمان: كفار ومسلمون، وهم جميعا السادة المطاعون في عشائرهم كما ذكرنا فالكفار ضربان (أحدهما) من يرجى إسلامه فيعطى لتقوى نيته في الاسلام وتميل نفسه إليه فيسلم فان النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة أعطى صفوان بن أمية الامان واستصبره صفوان أربعة أشهر لينظر في أمره وخرج معه إلى حنين، فلما أعطي النبي صلى الله عليه وسلم العطايا قال صفوان: مالي؟ فأومأ النبي صلى الله عليه وسلم إلى واد فيه إبل محملة فقال " هذا لك " فقال صفوان هذا عطاء من لا يخشى الفقر (والضرب الثاني) من يخشى شره فيرجى بعطيته كف شره وكف شر غيره معه. فروى ابن عباس أن قوما كانوا يأتون النبي صلى الله عليه وسلم فان أعطاهم مدحوا الاسلام وقالوا هذا دين حسن، وإن منعهم ذموا وعابوا 

“Muallaf qulubuhum ada dua, Muslim dan non-Muslim, mereka semua adalah tuan yang menjadi panutan di kelompoknya seperti yang telah kami sampaikan. Non-Muslim ada dua. Pertama, orang yang diharapkan keislamannya, maka diberikan zakat agar niatnya memeluk islam kuat dan dapat mencondongkan hatinya untuk memeluk islam, sesungguhnya Nabi saat pembebasan kota Mekah memberikan jaminan keamanan kepada Shofwan bin Umayyah, dan Shofwan menguji Nabi selama empat bulan untuk melihat sikap beliau dan keluar bersama Nabi di perang Hunain. Saat Nabi memberinya beberapa pemberian, Shofwan mengatakan, apa ini?. Lalu Nabi berisyarah menuju bukit yang terdapat unta di dalamnya, Nabi mengatakan, ini untukmu. Shofwan menjawab, ini adalah pemberian orang yang tidak takut faqir. Kedua, non-Muslim yang dikhawatirkan keburukannya, maka diharapkan pemberian zakat kepadanya dapat mencegah keburukannya dan para pengikutnya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa suatu kelompok datang kepada Nabi, bila Nabi memberi mereka, maka mereka memuji islam dan berkata, ini adalah agama yang baik. Bila Nabi tidak memberi, mereka mencela.” (Ibnu Quddamah al-Maqdisi, al-Syarh al-Kabir, juz 2, hal 697)

Meski ada celah pembenaran memberikan zakat fitrah kepada non-Muslim, dalam kondisi normal dan masih banyaknya umat Islam yang miskin, sebaiknya hal tersebut tidak dilakukan. Dalam konteks ini lebih utama memberikan zakat fitrah kepada seorang Muslim, sebab zakat dapat membantu mereka untuk melakukan ketaatan. Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan:

 وأما ما سوى الزكاة من صدقة الفطر والكفارات والنذور، فلا شك في أن صرفها إلى فقراء المسلمين أفضل؛ لأن الصرف إليهم يقع إعانة لهم على الطاعة 

“Adapun selain zakat dari sedekah fitri, kafarat dan nadzar, tidak diragukan lagi mengalokasikannya kepada orang Islam yang fakir lebih utama, sebab memberikan kepada mereka dapat membantu mereka melakukan ketaatan.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 3, halaman 310) Wallahu a‘lam. (M. Mubasysyarum Bih)

Sumber: https://nu.or.id/ramadhan/bolehkah-memberikan-zakat-fitrah-kepada-non-muslim-SubgV

OBAT ANTI HAIDH DAN PUASA RAMADHAN

Menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya. Berikut uraiannya, sekaligus pendapat-pendapat kalangan madzhab selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya haid.

وَفِيْ فَتَاوَى الْقَمَّاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ

"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammd ibn al Husein al Qammaath) di simpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196). Sumber kitab : Ghooyah at-Talkhiish al-Murood 247 / halaman 196, maktabah syamilah (Fiqh Syafi’iyyah).

اَلْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا

أَمَّا أَنْ تَصُوْمَ الْحَيْضُ بِسَبَبِ دَوَاءٍ فِيْ غَيْرِ مَوْعِدِهِ فَإِنَّ الظَّاهِرَ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَا يُسَمَّى حَيْضًا وَلَا تَنْقَضِيْ بِهَ عِدَّتُهَا وَهَذَا بِخِلَافِ مَا إِذَا اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً يَنْقَطِعُ بِهِ الْحَيْضُ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ طُهْرًا وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَمْنَعَ حَيْضَهَا أَوْ تَسْتَعْجِلُ إِنْزَالَهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ صِحَّتَهَا لِأَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الصِّحَّةِ وَاجِبَةٌ

"Kalangan Malikiyyah berpendapat :

Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (al-Fiqhu 'ala Madzahibil 'Arba'ah, 1/103). Sumber kitab: Al Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103, maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin).

أَحْكَامٌ عَامَّةٌ

أَوَّلًا - إِنْزَالُ وَرَفْعُ الْحَيْضِ بِالدَّوَاءِ

صَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ إِنْ أُمِنَ الضَّرَرُ ، وَذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الزَّوْجِ . لأِنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ، وَكَرِهَهُ مَالِكٌ مَخَافَةَ أَنْ تُدْخِل عَلَى نَفْسِهَا ضَرَرًا بِذَلِكَ فِي جِسْمِهَا . كَمَا صَرَّحُوا بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَشْرَبَ دَوَاءً مُبَاحًا لِحُصُوْل الْحَيْضِ ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهَا غَرَضٌ مُحَرَّمٌ شَرْعًا كَفِطْرِ رَمَضَانَ فَلاَ يَجُوْزُ .

ثُمَّ إِنَّ الْمَرْأَةَ مَتَى شَرِبَتْ دَوَاءً وَارْتَفَعَ حَيْضُهَا فَإِنَّهُ يُحْكَمُ لَهَا بِالطَّهَارَةِ ، وَأَمَّا إِنْ شَرِبَتْ دَوَاءً وَنَزَل الْحَيْضُ قَبْل وَقْتِهِ فَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّ النَّازِل غَيْرُ حَيْضٍ وَأَنَّهَا طَاهِرٌ . فَلاَ تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ ، وَلاَ تَحِل لِلأزْوَاجِ ، وَتُصَلِّيْ وَتَصُوْمُ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ غَيْرَ حَيْضٍ ، وَتَقْضِي الصَّوْمَ دُوْنَ الصَّلاَةِ احْتِيَاطًا لاِحْتِمَال أَنَّهُ حَيْضٌ .

وَقَدْ صَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً فَنَزَل الدَّمُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ حَيْضٌ وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ

(1) حاشية ابن عابدين 1 / 202 ، حاشية الدسوقي 1 / 167 ، 168 ، مواهب الجليل 1 / 366 ، كشاف القناع 1 / 218

Hukum umum

Keluar dan hilangnya haid akibat obat. Kalangan Hanabilah menjelaskan : Diperkenankan bagi wanita meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya, itupun bila seijin suami karena suami punya hak anak atas dirinya, Imam malik memakruhkannya bila menimbulkan bahaya dalam raganya seperti diperkenankan baginya meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk mendapatkan masa haidnya hanya saja bila bertujuan yang diharamkan syara’ seperti agar tidak berpuasa dibulan ramadhan maka tidak diperkenankan.

Wanita yang meminum obat kemudian hilang haidnya maka dihukumi wanita suci, namun wanita yang meminum obat agar mendapatkan haidnya sebelum masanya tiba maka darah yang keluar menurut kalangan malikiyyah bukanlah darah haid dan dia tetap dikatakan suci dan tidak habis iddahnya dan tidak halal untuk dinikahi, baginya tetap wajib sholat dan puasa karena kemungkinannya bukan darah haid, boleh mengqadha puasanya bukan shalatnya karena kemungkinan yang keluar darah haid.

Kalangan Hanafiyyah menjelaskan : Wanita yang meminum obat kemudian keluar darah haid pada masa-masanya, yang keluar adalah darah haid dan menghabiskan masa iddahnya." (Haasyiyah Ibn ‘Aabidiin I/202, Haasyiyah ad-Daasuqi I/167-168, Mawaahib al-jaliil I/366, Kasysyaaf alQanaa’ I/218). [al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 18/327]. Sumber kitab: Al Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah XVIII/327 , maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin).

Catatan:

Berikut ta’bir Kitab Kasysyaaful Qanaa’ selengkapnya:

( وَيَجُوزُ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ مَعَ أَمْنِ الضَّرَرِ نَصًّا ) كَالْعَزْلِ وَ ( قَالَ الْقَاضِي لَا يُبَاحُ إلَّا بِإِذْنِ الزَّوْجِ ) أَيْ : لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ( وَفِعْلُ الرَّجُلِ ذَلِكَ بِهَا ) أَيْ : إسْقَاؤُهُ إيَّاهَا دَوَاءً مُبَاحًا يَقْطَعُ الْحَيْضَ ( مِنْ غَيْرِ عِلْمِهَا يَتَوَجَّهُ تَحْرِيمُهُ ) قَالَهُ فِي الْفُرُوعِ ، وَقُطِعَ بِهِ فِي الْمُنْتَهَى لِإِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنْ النَّسْلِ الْمَقْصُودِ .

( ومثله ) أي مثل شربها دواء مباحا لقطع الحيض ( شربه كافورا ) قال في المنتهى ولرجل شرب دواء مباح يمنع الجماع

"[Diperbolehkan meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya atas dasar nash] sebagaimana masalah 'azl. [Qadhi Ibnu Muflih berkata: tidak diperbolehkan kecuali dengan sejin suami] sebab suami memiliki hak atas mendapatkan keturunan [serta perbuatan suami akan hal itu] yakni meminumkan obat yang diperbolehkan syara' pada istri untuk memutus haid [tanpa sepengetahuan istrinya pantas dinilai haram] diungkapkan dalam kitab Furu', ditegaskan pula dalam kitab al-Muntaha sebab perbuatan itu melanggar hak istrinya untuk mendapatkan keturunan yang dikehendakinya

[Sebagaimana hal itu] yakni sebagaimana meminumkan pada istri obat yang diperbolehkan syara' untuk memutus haid [boleh juga meminum air kapur] Dijelaskan dalam kitab al-Muntaha bahwa bagi suami boleh meminum air yang diperbolehkan syara' untuk menolak keinginan persetubuhan." (Kasysyaful Qana', 1/218). Sumber kitab : Kasysyaaful Qanaa’ karya Syeikh Manshuur ibn Yunuus al Bahuuti juz II halaman 96, maktabah syamilah (Fiqh Hanabilah).

Wanita Haidh Bolehkah Berwudhu

Wanita yang sedang haid tidak disunnahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti. Imam Nawawi dalam syarah Muslim:

وَأَمَّا أَصْحَابنَا فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُوْنَ عَلَى أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ الْوُضُوءُ لِلْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ ؛ لِأَنَّ الْوُضُوْء لَا يُؤَثِّرُ فِي حَدَثِهِمَا ، فَإِنْ كَانَتْ الْحَائِضُ قَدْ اِنْقَطَعَتْ حَيْضَتُهَا صَارَتْ كَالْجُنُبِ . وَاللهُ أَعْلَمُ .

"Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallaahu A’lam." (Syarh an-Nawawi ala al-Muslim, 3/218). Sumber Kitab: Syarhunnawawi ‘Alaa Shahihi Muslim juz III halaman 218, cetakan ke III tahun 1398 H – 1978 M / juz I halaman 499 / juz III halaman 218 , maktabah syamilah. Sumber Link: > http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=850&idto=858&bk_no=53&ID=147

وَيُنْدَبُ ) لَهُ أَيْضًا ( اَلْوُضُوْءُ لِلطَّعَامِ وَالشَّرْبِ وَالْجِمَاعِ وَالْمَنَامِ

: قَوْلُهُ اَلْوُضُوءُ لِلطَّعَامِ إلَخْ ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ ؛ لِأَنَّهُ يُؤَثِّرُ فِي حَدَثِ الْجُنُبِ بِخِلَافِ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ ؛ لِأَنَّ حَدَثَهُمَا مُسْتَمِرٌّ وَلَا تَصِحُّ الطَّهَارَةُ مَعَ اسْتِمْرَارِهِ وَهَذَا مَا دَامَتْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ فَإِذَا انْقَطَعَ الدَّمُ صَارَا كَالْجُنُبِ يُسْتَحَبُّ لَهُمَا الْوُضُوءُ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ

"Dan bagi orang junub disunnahkan wudhu untuk makan, minum, bersenggama dan tidur. Ucapan Mushannif (Imam Ibnul Wardi): (disunnahkan) Wudhu untuk makan. Imam Nawawi berkata dalam kitab al Majmu’ : Karena berwudhu bisa berpengaruh pada hadatsnya orang junub. Berbeda dengan hadatsnya wanita haid & nifas, karena hadats keduanya tetap. Tidak sah bersuci dengan tetapnya hadats tersebut. Ini selagi wanita tersebut dalam keadaan haid atau nifas. Jika darahnya sudah berhenti maka keduanya menjadi seperti orang junub, keduanya disunnahkan wudhu disaat-saat tersebut diatas." (Syarh al-Bahjah, 2/155). Sumber Kitab: Syarh al Bahjah lisysyaikh Zakariya al Anshari (pengarang al Bahjah = Imam Ibnul Wardi. Pengarang syarh al Bahjah = Syaikhul Islam Zakariya al Anshari) juz II halaman 155, maktabah syamilah. Sumber Link: > http://islamport.com/d/2/shf/1/27/1824.html

وَيُنْدَبُ لِلْجُنُبِ رَجُلًا كَانَ أَوْ امْرَأَةً وَلِلْحَائِضِ بَعْدَ انْقِطَاعِ حَيْضِهَا الْوُضُوْءُ لِنَوْمٍ أَوْ أَكْلٍ أَوْ شَرْبٍ أَوْ جِمَاعٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ تَقْلِيْلًا لِلْحَدَثِ

"Disunnahkan bagi orang junub, laki-laki atau perempuan, dan bagi wanita haid setelah berhenti haidnya berwudhu karena mau tidur, makan, minum, jima’ dan sebagainya untuk mengecilkan (mengurangi) hadats." (Hasyiyah Jamal, 2/96). Sumber Kitab: Hasyiyah Jamal ‘alaa Syarhil Manhaj juz I halaman 166, cetakan Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, Beirut / juz I halaman 486 / juz II halaman 96, maktabah syamilah. Sumber Link: > http://islamport.com/d/2/shf/1/21/1421.html (1/486). > http://islamport.com/w/shf/Web/3445/486.htm

Dalam Kitab Nihayatul Muhtaj :

وَمِمَّا يَحْرُمُ عَلَيْهَا الطَّهَارَةُ عَنْ الْحَدَثِ بِقَصْدِ التَّعَبُّدِ مَعَ عِلْمِهَا بِالْحُرْمَةِ لِتَلَاعُبِهَا ، فَإِنْ كَانَ الْمَقْصُوْدُ مِنْهَا النَّظَافَةَ كَأَغْسَالِ الْحَجِّ لَمْ يُمْتَنَعْ

"Diantara perkara yang haram atas wanita haid adalah bersuci dari hadats dengan tujuan beribadah serta mengertinya dia akan keharamannya, hal itu karena dia TALAA'UB (mempermainkan ibadah). Jika yang dikehendaki dari bersuci itu untuk kebersihan seperti mandi haji, maka bersuci tersebut tidak dicegah." (Nihayatul Muhtaj, 1/330). Sumber Kitab: Nihayatul Muhtaj Lil Imam Ar Ramli juz I halaman 330, maktabah syamilah. Sumber Link: > http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=25&ID=500

Dalam Fiqh Malikiyyah:

قَوْلُهُ : [ وُضُوءٌ لِنَوْمٍ ] : فِي ( عب ) : مِثْلُهُ الْحَائِضُ بَعْدَ انْقِطَاعِ الدَّمِ لَا قَبْلَهُ وَهَذَا عَلَى أَنَّ الْعِلَّةَ رَجَاءُ نَشَاطِهِ لِلْغُسْلِ

"Ucapan Mushannif (mushannif kitab Syarh Shaghier/ Syeikh Ahmad ibn Muhammad Ad Dardiir): Dan WUDHU untuk tidur , didalam ‘AIN BAA`: seperti halnya orang jubub adalah wanita haid sesudah berhentinyya darah, tidak sebelumnya. Hal ini karena illatnya adalah harapan agar semangat untuk mandi." (Hasyiyah ash-Shawi 'ala Syarh ash-Shaghir, 1/300). Sumber Kitab: Hasyiyah Ash Shawi ‘alaa Syarhishshaghier juz I halaman 300, maktabah syamilah. Sumber Link: > http://islamport.com/w/mlk/Web/1738/300.htm

Dalam Kitab al Majmu’:

فَرْعٌ ) هَذَا الَّذِيْ ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّهُ لَا تَصِحُّ طَهَارَةُ حَائِضٍ ، هُوَ فِيْ طَهَارَةٍ لِرَفْعِ حَدَثٍ سَوَاءٌ كَانَتْ وُضُوْءًا أَوْ غُسْلًا ، وَأَمَّا الطَّهَارَةُ الْمَسْنُوْنَةُ لِلنَّظَافَةِ كَالْغُسْلِ لِلْإِحْرَامِ وَالْوُقُوْفِ وَرَمْيِ الْجَمْرَةِ فَمَسْنُوْنَةٌ لِلْحَائِضِ بِلَا خِلَافٍ

"Cabang : Apa yang telah kami tuturkan yaitu bersucinya orang haid tidak sah, itu adalah bersuci dalam menghilangkan hadats, baik wudhu maupun mandi. Adapun bersuci yang sunnah karena untuk kebersihan seperti mandi untuk Ihram, wuquf dan melempar jumrah maka hukumnya sunnah untuk wanita haid tanpa ada khilaf." (al-Majmu', 2/383). Sumber Kitab: Al Majmu’, Syarh al Muhadzdzab juz II halaman 383, cetakan Maktabah Ial Irsyaad Jeddah /juz II halaman 349, maktabah syamilah.

Dalam Kitab Fiqhul ‘ibadat:

تَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ اَلطَّهَارَةُ بِنِيَّةِ رَفْعِ الْحَدَثِ أَوْ نِيَّةِ الْعِبَادَةِ كَغُسْلِ الْجُمُعَةِ أَمَّا الطَّهَارَةُ الْمَسْنُوْنَةُ لِلنَّظَافَةِ كَالْغُسْلِ لِلْإٍحْرَامِ وَغُسْلِ الْعِيْدِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأَغْسَالِ الْمَشْرُوْعة ِاَلَّتِيْ لَا تَفْتَقِرُ إٍلَى طَهَارَةٍ فَلَا تَحْرُمُ

"Haram atas wanita hadi dan wanita nifas bersuci dengan niat menghilangkan hadats atau niat beribadah, seperti mandi Jumat.. Adapun bersuci yang disunnahkan untuk kebersihan seperti mandi untuk ihram, mandi shalat ied dan sebagainya dari mandi-mandi yang masyru’ yang tidak membutuhkan bersuci maka tidak haram." (Fiqh al-Ibadat 'ala Madzhab asy-Syafi'i, 1/200). Sumber Kitab: Fiqhul ‘Ibaadaat ‘alaa Madzhabisysyaafi’iyyi juz I halaman 200, maktabah syamilah.

Dalam Fiqh al-Islaam wa adillatuh:

يَغْتَسِلُ تَنَظُّفًا، أَوْ يَتَوَضَّأُ، وَالْغُسْلُ أَفْضَلُ؛ لِأَنَّهُ أَتَّمُّ نَظَافَةً، وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ اِغْتَسَلَ لِإِحْرَامِهِ ، وَهُوَ لِلنَّظَافَةِ لَا لِلطَّهَارَةِ، وَلِذَا تَفْعَلُهُ الْمَرْأَةُ الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ

"(Orang yang akan melakukan Ihram agar) mandi untuk kebersihan, atau berwudhu. Mandi lebih utama, karena lebih sempurna kebersihannya, dan karena Nabi ‘alaihishshalaatu wassalaam mandi untuk ihram beliau. Mandi tersebut untuk kebersihan bukan untuk bersuci, oleh karenanya dilakukan oleh wanita haid dan wanita nifas." (Fiqhul Islami, 3/503). Sumber Kitab: Al Fiqhul Islaam Wa Adillatuhuu karya Dr. Wahbah Zuhayli juz III halaman 503, maktabah syamilah.

Kesimpulannya : HUKUM WUDHU WANITA HAID

•Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah maka haram karena akan menimbulkan TANAAQUD (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats) dan menimbulkan TALAA'UB (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya).

•Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah maka sunnah karena fungsinya TAQLIIL ALHADATS (meringankan dan mengecilkan hadats) dan NASYAATH LI ALGHUSLI (Untuk merangsang segera mandi).

•Bila wudhunya tidak untuk menghilangkan hadats/ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk 'AADAH/kebiasaan seperti Tabarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan) maka sunnah karena fungsi rof'i alhadats (menghilangkan hadats) atau taqliil alhadats (meringankan/mengecilkan hadats tidak terjad dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats).

Wallaahu A'lam bishshawaab. 

Selasa, 04 Maret 2025

Bacaan Imam Terlalu Cepat

Ketika bacaan imam terlalu cepat namun makmum belum selsai membaca alfatihah sehingga dimungkinkan akan tertinggal rokaat sholatnya, maka wajib bagi makmum untuk mengikuti imam dan bacaan fatihahnya ditanggung oleh imam.

Referensi: I'anah Tholibin Ala Hilli alfadzi Fathil Mu'in;

وأما لو أسرع الإمام حقيقة بأن لم يدرك معه المأموم زمنا يسع الفاتحة للمعتدل فإنه يجب على المأموم أن يركع مع الإمام ويتركها لتحمل الإمام لها، ولو في جميع الركعات.
اه. ع.ش

Adapun jika imam mempercepat bacaan secara hakikat, yakni sehingga makmum yang bacaan fatihahnya sedang-sedang saja tidak mempunyai waktu untuk membaca fatihah, maka wajib bagi makmum untuk ikut rukuk bersama imam dan meninggalkan bacaan fatihahnya supaya bacaan fatihah tersebut ditanggung oleh imam, meski hal ini terjadi pada setiap rokaat. Selesai. Asy-Syibromalisi.

[البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,2/40]

Hasyiyah Al-Jamal:

(قَوْلُهُ كَأَنْ أَسْرَعَ إمَامٌ قِرَاءَتَهُ) الْمُرَادُ أَنَّهُ قَرَأَ بِالْوَسَطِ الْمُعْتَدِلِ أَمَّا لَوْ أَسْرَعَ فَوْقَ الْعَادَةِ فَلَا يَتَخَلَّفُ الْمَأْمُومُ لِأَنَّهُ كَالْمَسْبُوقِ، وَلَوْ فِي جَمِيعِ الرَّكَعَاتِ اهـ. شَيْخُنَا

(Qouluhu: Ka An Asro'a Imamun Qiro'atahu) Yang dimaksud adalah bacaan imam sedang-sedang saja, adapun jika bacaan imam cepat melebihi keumuman, maka makmum tidak boleh takholluf (menyelisihi imam sampai 2 rukun fi'li), sebab makmum dihukumi seperti masbuq, meski pun hal ini terjadi di setiap rokaat. Selesai, Syaikhuna.

[الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب، ٥٧٢/١]

JIKA MENYENTUH NAJIS MUGHOLLADHOH DALAM AIR LEBIH DARI DUA KULAH


Bersentuhan atau bersinggungan dengan semisal Anjing atau Babi di dalam air yang ukurannya 2 Qullah ke atas ini tidak menyebabkan anggota badan yang bersentuhan menjadi najis, sebab antara anggota badan si Penyentuh dan semisal babi ini terdapat penghalang berupa Balal (Basah-basahnya air : Murod saya) yang mana ia masih dikategorikan bagian dari air 2 Qullah sehingga memiliki kekuatan untuk menolak hukum najis darinya.

Lain halnya bila Babi atau Anjingnya digenggam dengan erat sehingga antara basah-basahnya air yang berada ditelapak tangannya si Penggenggam dan air secara keseluruhan ini menjadi terpisah oleh jari jemari dan telapak tangan bagian luar. Yang otomatis basah-basahnya air yang berada di telapak tangan ini tidak memiliki kekuatan untuk menolak najis sebab ukurannya kurang dari 2 Qullah yang sudah tidak dikatakan jadi satu dengan air lainnya (dikarenakan ia dikatakan berada di tempat yang berbeda). Dan untuk air yang ukurannya 2 Qullah ke atas ini memiliki kekuatan untuk menolak hukum najis darinya. Wallohu a'lam bis showab

TA'BIR :
- Kitab Hasyiyah Syarwani 'alattuhfah 3/350

قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر مَانِعَةٌ مِنْ تَنَجُّسِهِ إلَخْ وَمِثْلُهُ مَا لَوْ لَاقَى بَدَنُهُ شَيْئًا مِنْ الْكَلْبِ فِي مَاءٍ كَثِيرٍ فَإِنَّهُ لَا يَنْجَسُ ؛ لِأَنَّ مَا لَاقَاهُ مِنْ الْبَلَلِ الْمُتَّصِلِ بِالْكَلْبِ بَعْضُ الْمَاءِ الْكَثِيرِ بِخِلَافِ مَا لَوْ أَمْسَكَهُ بِيَدِهِ وَتَحَامَلَ عَلَيْهِ بِحَيْثُ لَمْ يَصِرْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رِجْلِهِ إلَّا مُجَرَّدُ الْبَلَلِ فَإِنَّهُ يَنْجَسُ ؛

- kitab asnal matholib (1/81):
( فصل ) الماء ( الجاري ) ، وهو ما يجري في مستو أو منخفض ( متفاصل ) جريانه حكما ، وإن اتصلت حسا إذ كل جرية طالبة لما أمامها هاربة عما خلفها ( ، والمتغير منه بنجاسة ) ملاقية له ( كنجاسة جامدة ) في حكمها ( ، والجامدة إن جرت بجريه ) بهاء الضمير أو بهاء التأنيث أي بجري الماء أو بجريه من جريانه ( فما قبلها ) أي قبل جرية النجاسة ( و ) ما ( بعدها ) من الجريات ( طاهر ، وجرية النجاسة ، وهي قدرها ) أي النجاسة ( في عرض النهر لها حكم الراكد ) فيما مر فينتظر ( إن بلغت قلتين فطاهرة ) مطهرة ( ولا يشترط تباعد ) عن النجاسة بقلتين ، وإن لم تبلغهما فتنجسه ( وللجرية الثانية و ) للجريات ( السبع إن كانت ) أي النجاسة ( كلبية حكم الغسالة ) الآتي بيانه في الباب الآتي ( لأنها تغسل محل النجاسة في طول النهر ) التصريح بهذا من زيادته ، وتفسيره الجرية من زيادته بقوله ، وهي قدرها في عرض النهر قريب من قول المتولي هي القدر المقابل لحافتي النجاسة إلى حافتي النهر ، وقد بينته في شرح البهجة ، وهو مع مخالفته للمشهور قاصر على جرية النجاسة ، والمشهور ما في المجموع عن الأصحاب أنها الدفعة بين حافتي النهر عرضا .

- kitab nihayatul muhtaj dan hasiyah sibromalisi (1/255) :
وتكون كثرة الماء مانعة من تنجسه كما صرح به الإمام وغيره .
( قوله : مانعة من تنجسه ) ومثله ما لو لاقى بدنه شيئا من الكلب في ماء كثير فإنه لا ينجس لأن ما لاقاه من البلل المتصل بالكلب بعض الماء الكثير ، بخلاف ما لو أمسكه بيده وتحامل عليه بحيث لا يصير بينه وبين رجله إلا مجرد البلل فإنه ينجس لأن الماء الملاقي ليده الآن نجس ، وكتحامله عليه بيده ما لو علمنا تحامل الكلب على محل وقوفه كالحوض بحيث لا يصير بين رجليه ومقره حائل من الماء

- kitab tuhfatul muhtaj :
قال ع ش قوله م ر مانعة من تنجسه إلخ ومثله ما لو لاقى بدنه شيئا من الكلب في ماء كثير فإنه لا ينجس ؛ لأن ما لاقاه من البلل المتصل بالكلب بعض الماء الكثير بخلاف ما لو أمسكه بيده وتحامل عليه بحيث لم يصر بينه وبين رجله إلا مجرد البلل فإنه ينجس ؛ لأن الماء الملاقي ليده الآن نجس وكتحامله عليه بيده ما لو علمنا تحامل الكلب على محل وقوفه كالحوض بحيث لا يصير بين رجليه ومقره حائل من الماء ا هـ .

Berpuasa Namun Berjunub


 يَصِحُّ مِنْ الْجُنُبِ أَدَاءُ الصَّوْمِ بِأَنْ يُصْبِحَ صَائِمًا قَبْل أَنْ يَغْتَسِل (1) فَإِنَّ عَائِشَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ قَالَتَا : نَشْهَدُ عَلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أِنْ كَانَ لِيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَغْتَسِل ثُمَّ يَصُومُ (2) .
__________
(1) البدائع 1 / 38 ، والمغني 3 / 109 ، والمهذب 1 / 188 - 189 ، وجواهر الإكليل 1 / 152 - 153 .

(2) حديث : " أن عائشة وأم سلمة قالتا : نشهد على رسول الله صلى الله عليه وسلم إن كان ليصبح جنبا من غير احتلام ثم يغتسل ثم يصوم " أخرجه البخاري ( الفتح 4 / 153 - ط السلفية ) .

Berpuasa hukumnya SAH bagi orang junub seperti orang yang memasuki shubuh sebelum ia menjalaninya mandi besar karena Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima’ dengan isterinya, kemudian ia mandi dan berpuasa” (Hadits Riwayat Bukhari 4/153). ALBADAA-I’ I/38, ALMUGHNI III/109, ALMUHADDZAB I/188-189, JAWAAHIR AL-IKLIIL I/152-153. [ ALMAUSUU’AH ALFIQHIYYAH XVI/55 ].

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah kepada Non-Muslim?

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang mampu. Peranannya tidak hanya berkaitan deng...